Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kredit Menengah (KUKM) Syarifuddin Hasan mengaku salut dengan keberadaan galeri batik dalam factory outlet di Bandung. Menurutnya, hal tersebut merupakan difersifikasi pemasaran untuk lebih mempopulerkan batik.
“Atensi masyarakat terhadap factory outlet kan cukup baik, ada batik di factory outlet itu luar biasa,” ujar Syariffuddin saat ditemui usai Meresmikan Galeri Citta Batik yang juga menyatu dengan FO Runaway di Jalan Ir H Djuanda, Rabu (4/8/2010).
Labih lanjut, ujar Syariffuddin, pemasaran batik di dalam factory outlet akan mempermudah konsumen untuk menemukan batik yang berkualitas. “Konsumen akan mudah mendapatkan batik yang berkulaitas, produknya cantik, bagus, dan artnya tinggi,” terangnya.
Syariffuddin juga mengatakan cara pemasaran batik seperti itu merupakan bentuk kepedulian untuk memajukan batik di Indonesia, khususnya batik Jabar.
“Saya pikir batik ini akan semakin maju, dan majunya batik akan memajukan para perajin sehingga lebih sejahtera,” tutupnya
Kota Bandung sebagai salah satu kiblat fashion di Indonesia menjadi tempat strategis untuk mempromosikan beragam batik khas Jabar. Menjamurnya factory outlet (FO) pun menjadi sasaran empuk Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) untuk mengangkat citra batik pada pasar yang lebih luas.
Hal tersebut diungkapkan juga oleh Ketua YBJB Sendy Yusuf kepada detibandung saat ditemui usai Persemian Galeri Citta Batik yang menyatu dengan FO Runaway di Jalan Ir H Djuanda, Rabu (4/7/2010).
“Batik harus bisa bersinergi dengan factory outlet. Apalagi Bandung ini tujuan wisatawan nasional dan internasioal, jadi batik Jabar bisa lebih memasyarakat,” ucapnya.
Apalagi menurut Sendy, batik merupakan senjata yang tak ternilai harganya yang dimiliki oleh Indonesia terutama Jawa Barat. “Senjata bangsa kita adalah batik. Sekalipun Paris sebagai pusat fashion, tidak ada yang memiliki senjata kita akni kain adat,” terangnya.
Sendy mengakui barang yang dijual di Galeri Citta Batik terbilang cukup mahal dengan pangsa pasar menengah ke atas, namun menurutnya, harga tersebut sebanding dengan proses pembuatan batik itu sendiri.
“Batik ini kan handmade, dibuat dengan penuh keiklasan, dan ketulusan. Kalau positioning harganya di bawah terus kapan kita akan menghargai batik?” tegasnya.
“Kita sistemnya beli putus, tapi kita juga pilih-pilih apakah produk-produknya memang bekualitas atau ada kriteria tertentu,” katanya.
Saat ini, kata Sendy, dari 26 Kabupaten/Kota di Jabar, 16 Kabupaten/Kota di antaranya sudah menghasilkan batik dengan ciri khas masing-masing. Selain itu sudah ada 5 koperasi batik yang sedang berjalan.
Baca Juga: